banner 728x250

Pradikta Wicaksono: Menyimpan Air Mata dalam Kesunyian

banner 120x600
banner 468x60

Menjadi Anak Laki-Laki yang Kuat

Pradikta Wicaksono, yang lebih dikenal sebagai Dikta, adalah seorang penyanyi berbakat yang telah menorehkan berbagai prestasi di industri musik Indonesia. Namun, di balik kesuksesannya, terdapat cerita emosional yang jarang diungkapkan. Dalam sebuah wawancara, Dikta mengaku bahwa dirinya sulit untuk menangis di depan anggota keluarganya. Hal ini bukan tanpa alasan, melainkan dikarenakan perannya sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga.

“Sebagai anak laki-laki satu-satunya, saya merasa harus selalu kuat. Jika saya menangis, siapa yang akan menenangkan keluarga?” ucap Dikta saat ditemui di Jakarta Selatan. Pemikiran ini sudah menjadi bagian dari dirinya sejak kecil. Ia merasa bahwa tugasnya adalah menjadi penyangga emosi bagi keluarganya, terutama di saat-saat sulit.

banner 325x300

Ketika menghadapi momen-momen emosional, Dikta lebih memilih untuk menyimpan perasaannya. Ia mengaku bahwa ia lebih nyaman mengekspresikan kesedihan ketika sendirian, jauh dari pandangan orang lain. “Saya terbiasa memendam rasa sedih hingga tidak mengeluarkannya sama sekali,” tambahnya. Kebiasaan ini membuatnya merasa tertekan, tetapi ia merasa tidak ada pilihan lain.

Kesedihan yang Terpendam

Salah satu momen paling menyedihkan dalam hidup Dikta adalah saat ayahnya jatuh sakit dan kemudian meninggal. “Ayah adalah superhero saya. Ketika dia sakit, saya tidak percaya bahwa dia bisa pergi,” kenangnya. Di saat ayahnya sakit, seluruh anggota keluarga terlihat berduka, tetapi Dikta berusaha keras untuk tidak menunjukkan kesedihannya.

“Saya ingat saat itu, semua orang menangis, dan saya merasa harus menjaga suasana. Tugas saya adalah menetralkan semua,” tutur Dikta. Ia merasa sangat berat untuk menahan perasaannya sendiri. “Ada saat-saat ketika saya ingin sekali menangis, tetapi saya merasa tidak boleh,” tambahnya.

Dalam momen-momen kesedihan tersebut, ia sering kali menyimpan perasaannya dalam hati. Ketika ayahnya akhirnya meninggal, rasa kehilangan itu begitu dalam. “Rasanya seperti dunia saya runtuh. Saya merasa sangat hancur, tetapi saya tidak bisa menunjukkan itu kepada orang lain,” ungkapnya. Momen itu menjadi titik terendah dalam hidupnya.

Belajar dari Kehilangan

Setelah kehilangan ayahnya, Dikta mulai merenungkan tentang cara ia mengekspresikan emosi. Ia menyadari bahwa menahan perasaan tidak selalu baik. “Saya belajar bahwa tidak ada yang salah dengan menunjukkan kesedihan. Itu adalah bagian dari proses penyembuhan,” jelasnya. Ia juga mulai mencoba untuk lebih terbuka dengan perasaannya, meskipun hal itu masih sulit.

“Ketika saya melihat orang lain menangis, saya merasa ada yang hilang dalam diri saya. Mengapa saya tidak bisa seperti mereka?” katanya. Ia mulai mengerti bahwa setiap orang memiliki cara berbeda untuk menghadapi kesedihan. Meskipun demikian, ia masih merasa terjebak dalam perannya sebagai anak laki-laki yang harus kuat.

Dikta merasa bahwa keluarganya juga perlu memahami bahwa ia tidak selalu bisa menjadi penenang. “Saya ingin mereka tahu bahwa saya juga butuh waktu untuk berduka,” ujarnya. Dengan cara ini, ia berharap bisa menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi dirinya dan keluarganya.

Menyampaikan Pesan Melalui Musik

Dalam perjalanan karier musiknya, pengalaman emosional ini turut memengaruhi karya-karyanya. “Setiap lagu yang saya tulis adalah cerminan dari apa yang saya rasakan. Saya ingin orang lain tahu bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi kesedihan,” ungkapnya. Melalui musik, Dikta berharap bisa menyampaikan pesan bahwa mengekspresikan emosi adalah hal yang penting.

Ia juga berencana untuk mengangkat tema-tema emosional dalam lagu-lagunya yang akan datang. “Saya ingin membuat orang merasa terhubung dengan apa yang saya rasakan. Musik adalah cara saya untuk berbagi,” jelasnya. Dengan harapan ini, Dikta berharap dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Menghadapi Masa Depan dengan Harapan

Dikta menyadari bahwa perjalanan hidupnya masih panjang. Ia berharap bisa menjadi pribadi yang lebih terbuka dan jujur tentang perasaannya. “Saya ingin bisa berbagi lebih banyak dengan orang-orang terdekat saya. Menangis bukanlah hal yang memalukan, dan saya ingin orang lain tahu itu,” tuturnya.

Selain itu, ia juga ingin membantu orang lain yang berada dalam situasi serupa. “Kita semua memiliki hak untuk merasakan dan mengekspresikan emosi kita. Jangan biarkan stigma membuat kita merasa tertekan,” ungkapnya. Dengan semangat ini, Dikta bertekad untuk terus berjuang dan berkembang.

Kesimpulan

Pradikta Wicaksono adalah contoh nyata dari seseorang yang berjuang untuk menemukan cara mengekspresikan emosi dalam hidupnya. Melalui pengalaman hidupnya, ia belajar bahwa tidak ada yang salah dengan menunjukkan perasaan. Dengan harapan untuk berbagi dan menginspirasi, Dikta terus berusaha menjadi versi terbaik dari dirinya.

banner 325x300