Pada awal hubungan, banyak orang merasa pasangannya adalah sosok yang sempurna. Setiap perhatian terasa istimewa, setiap perbedaan terlihat menarik, dan kekurangan seolah bukan hal besar. Namun ketika hubungan melangkah ke tahap yang lebih serius seperti pernikahan, semua terasa berbeda. Hal-hal kecil yang dulu bisa ditertawakan mulai terasa mengganggu.
Psikolog klinis Maria Fionna Callista menjelaskan bahwa fenomena ini sangat wajar terjadi. Menurutnya, perbedaan cara pandang terhadap pasangan di masa pacaran dan setelah menikah berkaitan erat dengan fase emosional yang dijalani seseorang. “Durasi pacaran yang lama tidak selalu berbanding lurus dengan kesiapan seseorang dalam menikah karena kedalaman hubungan dan kematangan emosional berbeda,” ujarnya.
Fase Awal: Ketika Cinta Masih Dikuasai Emosi
Dalam masa pacaran, seseorang umumnya berada di tahap yang disebut fase honeymoon. Pada fase ini, perasaan cinta yang kuat membuat seseorang menilai pasangan secara idealis. “Ketika masih pacaran, pasangan akan ada di fase honeymoon atau fase idealis kedua belah pihak,” kata Fionna.
Secara psikologis, fase ini berkaitan dengan aktivitas hormon dopamin, serotonin, dan oksitosin yang meningkat saat seseorang jatuh cinta. Hormon-hormon tersebut menimbulkan perasaan bahagia, euforia, dan ketertarikan emosional yang kuat. Dampaknya, kekurangan pasangan tidak terlihat sebagai masalah.
“Perbedaan kecil dianggap lucu, kekurangan dianggap hal yang bisa dimaklumi,” ujar Fionna.
Dalam tahap ini, pasangan juga lebih banyak menampilkan sisi terbaik dari dirinya. Keduanya saling berusaha membuat satu sama lain nyaman dan jarang memperlihatkan karakter asli sepenuhnya.
Minim Tekanan dan Tanggung Jawab
Masa pacaran biasanya berlangsung dalam kondisi yang ringan tanpa beban besar. Belum ada tanggung jawab finansial bersama, belum ada rutinitas rumah tangga, dan belum ada kewajiban sosial yang menuntut kerja sama intens.
“Pada saat pacaran, tekanan dan tantangan yang dihadapi belum sebesar ketika menikah. Tanggung jawab dan perannya juga masih belum banyak,” jelas Fionna.
Karena belum ada beban nyata, pasangan cenderung bisa memilih situasi yang ingin dihadapi. Ketika suasana tidak menyenangkan, mereka masih bisa menjauh sejenak. Hubungan tetap terasa menyenangkan karena lebih berfokus pada momen bahagia.
Namun ketika menikah, kondisi ini berubah. Hubungan tidak lagi berdiri di atas perasaan semata, tetapi juga di atas tanggung jawab bersama yang nyata.
Ketika Realita Mulai Terlihat
Setelah menikah, dua orang mulai hidup dalam satu ruang dengan rutinitas dan tanggung jawab yang sama. Dalam situasi ini, perbedaan karakter dan kebiasaan yang sebelumnya tidak terlihat mulai muncul.
“Ketika sudah menikah, pasangan dihadapkan pada realita hidup bersama yang kompleks. Di situ, perbedaan nilai dan kebiasaan mulai terasa,” ujar Fionna.
Pernikahan menuntut adaptasi, kerja sama, dan komunikasi yang jauh lebih intens dibanding masa pacaran. Di titik ini, cinta tidak lagi cukup hanya berdasarkan perasaan, tetapi juga membutuhkan kedewasaan dan komitmen.
Bagi banyak pasangan, fase ini menjadi tantangan besar. Bukan karena cinta hilang, tetapi karena hubungan mulai memasuki tahap yang lebih realistis.
Dari Cinta Emosional ke Cinta Rasional
Fionna menjelaskan bahwa hubungan yang kuat adalah hubungan yang bisa melewati pergeseran dari cinta emosional ke cinta rasional. Cinta emosional berpusat pada perasaan dan ketertarikan, sedangkan cinta rasional dibangun atas kesadaran, komitmen, dan tanggung jawab.
“Cinta yang matang bukan tentang mempertahankan perasaan manis di awal, tapi tentang bagaimana seseorang tetap memilih pasangannya meski sudah tahu sisi buruknya,” ujarnya.
Dalam cinta rasional, seseorang menyadari bahwa pasangan tidak sempurna dan hubungan tidak selalu berjalan lancar. Justru dari situ, seseorang belajar menerima, menyesuaikan diri, dan tumbuh bersama.
Pentingnya Kesadaran dan Komunikasi
Kesadaran menjadi faktor penting agar hubungan tetap sehat. Menurut Fionna, banyak orang merasa kecewa setelah menikah karena masih berpegang pada ekspektasi masa pacaran. “Kalau seseorang memahami bahwa fase honeymoon tidak berlangsung selamanya, dia akan lebih siap menghadapi perubahan setelahnya,” katanya.
Komunikasi yang jujur dan terbuka juga berperan besar dalam menjaga hubungan. Dengan saling berbicara dan mendengarkan, pasangan bisa memahami kebutuhan dan batasan masing-masing tanpa saling menyalahkan.
Selain itu, empati juga penting untuk menjaga kedekatan emosional. Dengan memahami bahwa setiap orang memiliki cara berpikir dan bereaksi yang berbeda, pasangan bisa lebih sabar menghadapi perbedaan.
Hubungan Sehat Butuh Kematangan Emosional
Fionna menegaskan bahwa kematangan emosional adalah kunci hubungan yang langgeng. Pasangan yang matang secara emosional mampu menahan diri saat emosi meningkat, mau belajar dari konflik, dan tidak mudah menyerah.
Hubungan yang sehat bukan berarti tanpa pertengkaran, melainkan hubungan yang mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang saling menghargai.
“Mudah menerima kekurangan pasangan saat pacaran itu wajar, tapi mempertahankan penerimaan itu setelah menikah adalah tanda cinta yang matang,” ujar Fionna.
Cinta sejati bukan hanya tentang bagaimana seseorang jatuh cinta, tapi bagaimana ia tetap memilih untuk mencintai setiap hari. Karena hubungan yang kuat tidak dibangun dari kesempurnaan, melainkan dari dua orang yang saling berusaha memahami dan bertumbuh bersama.



















