Setiap malam, terutama antara pukul 20.00 hingga puncaknya pukul 21.00, ada satu frasa yang paling sering dicari di Google: “cuaca besok”. Data dari Google Trend jelas menunjukkan lonjakan ini, dengan pencarian yang baru melandai setelah tengah malam saat kebanyakan orang terlelap. Fenomena ini bukan kebetulan; ada beberapa alasan kuat di balik kebiasaan banyak orang mencari tahu perkiraan cuaca untuk hari esok.
Antisipasi Kebutuhan Harian Kita
Alasan utamanya tak lain adalah antisipasi. Kita ingin tahu apakah besok akan panas terik atau diguyur hujan agar bisa mempersiapkan diri dengan tepat. Misalnya, jika perkiraan cuaca menyebutkan hujan deras, kita bisa menyiapkan payung atau jas hujan, atau bahkan mempertimbangkan rute perjalanan yang berbeda untuk menghindari macet. Sebaliknya, jika cuaca cerah, kita bisa merencanakan aktivitas di luar ruangan tanpa khawatir. Informasi ini sangat penting untuk kelancaran dan kenyamanan hari esok, mulai dari pakaian yang akan kita kenakan hingga rencana perjalanan kita.
Informasi Cuaca Kini Mudah Diakses
Di era digital ini, mendapatkan informasi cuaca sangatlah praktis. Cukup ketik “cuaca besok” di Google, dan perkiraan cuaca untuk lokasi Anda akan langsung muncul. Selain itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sebagai lembaga resmi penyedia informasi cuaca di Indonesia, juga menyediakan data yang akurat dan terbarui secara berkala, bahkan hingga beberapa hari ke depan melalui berbagai platformnya. Kemudahan akses inilah yang mendorong kebiasaan masyarakat untuk selalu terinformasi.
Musim Kemarau yang Belum Merata dan Ancaman Cuaca Ekstrem
Meskipun secara klimatologis Indonesia telah memasuki musim kemarau, banyak wilayah masih sering diguyur hujan. BMKG menjelaskan bahwa salah satu penyebabnya adalah melemahnya angin monsun Australia.
Angin monsun Australia, yang seharusnya membawa massa udara kering ke Indonesia saat kemarau, saat ini masih lemah. Pantauan BMKG per akhir Mei 2025 menunjukkan bahwa indeks monsun Australia masih di bawah nilai normalnya, terutama di wilayah Selatan Indonesia.
Kondisi ini menyebabkan massa udara kering tertahan di Samudra Hindia selatan Jawa hingga Nusa Tenggara Timur (NTT). Pelemahan angin ini juga memicu terbentuknya daerah perlambatan dan pertemuan angin (konvergensi dan konfluensi) di sekitar ekuator. Daerah-daerah inilah yang menjadi “tempat ideal” bagi awan konvektif untuk tumbuh.
Awan konvektif dikenal sebagai pembawa curah hujan sedang hingga lebat. Dalam beberapa kasus, awan ini bahkan bisa berkembang menjadi badai yang disertai angin kencang, petir, hingga hujan es. Oleh karena itu, meskipun kita berada di periode musim kemarau, potensi cuaca ekstrem masih ada dan memerlukan kewaspadaan.
Dengan dinamika cuaca yang sering tak terduga, kebiasaan mencari “cuaca besok” setiap malam adalah langkah antisipatif dan praktis bagi masyarakat untuk tetap waspada dan mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan cuaca.