Oleh: PixelScribe | 16 Mei 2025
Valeria Marquez tewas bukan karena ia viral. Ia tewas karena menjadi perempuan — di tempat yang salah, pada waktu yang salah, dan di negara yang terlalu terbiasa melihat perempuan mati.
Namun ironi paling kelamnya: ia tewas saat siaran langsung. Di TikTok. Di depan ratusan penonton.
Dan semuanya tidak bisa melakukan apa-apa.
Satu Live Lagi, Satu Nyawa Hilang Lagi
Pada 13 Mei 2025, jam 18.30 waktu setempat, Valeria sedang melakukan siaran langsung dari salon pribadinya, Blossom The Beauty Lounge, di Zapopan, Jalisco, Meksiko. Di layar, ia tampak ceria membuka bingkisan kecil — boneka babi pink yang ia sebut “little piglet.”
Detik berikutnya, seorang pria masuk, bertanya, “Kamu Valeria?”
Ia menjawab, “Ya.”
Ia mematikan mikrofonnya.
Suara tembakan terdengar.
Ia sempat memegangi perut dan dada. Ia tersungkur. Darah mengalir. Kamera tetap menyala. Dunia melihat, tapi tidak bertindak.
Inilah dunia kita hari ini. Di mana kekerasan tidak lagi terjadi diam-diam, tapi dipertontonkan — dan dinormalisasi.
Femisida: Wabah Diam yang Menelan Perempuan
Kasus Valeria bukan satu-satunya. Hanya beberapa hari sebelumnya, seorang calon wali kota perempuan di Veracruz juga tewas ditembak saat live. Tiga orang lainnya ikut menjadi korban.
Di Meksiko, pembunuhan terhadap perempuan karena gender — disebut femisida — telah menjadi epidemi nasional.
Pada tahun 2024, tercatat 847 kasus femisida.
Tiga bulan pertama 2025 saja sudah 162 kasus.
Jalisco, tempat Valeria tinggal dan dibunuh, mencatat 8 kasus hanya dalam bulan Mei ini. Angka-angka ini bukan hanya statistik. Mereka adalah nama, wajah, dan cerita yang tidak selesai.
Amnesty International mencatat bahwa 1 dari 4 pembunuhan perempuan di Meksiko diproses sebagai femisida. Artinya, sebagian besar tidak dianggap sebagai kekerasan gender, melainkan sekadar “homicide biasa.”
Influencer, Bukan Imunitas
Ada narasi berbahaya bahwa selebritas atau influencer lebih aman karena punya sorotan. Valeria membuktikan sebaliknya. Statusnya sebagai beauty influencer dengan ratusan ribu followers di TikTok dan Instagram tidak membuatnya kebal. Bahkan bisa dibilang, itu menjadi titik rawannya.
Dalam salah satu live sebelumnya, ia sempat berkata:
“Teman… mereka mungkin akan membunuhku.”
Ia bercerita soal seseorang yang mengirim hadiah mahal lewat seorang teman bernama Erika. Tapi curiganya tidak ditanggapi serius. Banyak menganggap itu “konten” belaka. Seolah ancaman harus viral dulu agar layak dipercaya.
Apakah kita terlalu terbiasa mengonsumsi rasa takut sebagai hiburan?
Platform Tidak Netral
TikTok, Instagram, Facebook — semuanya berlomba menjadi rumah bagi live content. Tapi apa yang terjadi ketika siaran langsung menjadi panggung pembunuhan? Apa tanggung jawab platform saat algoritma memperkuat tontonan, tapi tidak punya sistem untuk mendeteksi tragedi yang sedang terjadi?
Livestream Valeria baru berhenti ketika seseorang datang dan mematikan ponselnya. Tidak ada intervensi otomatis. Tidak ada sistem deteksi “violence in progress.” TikTok akan tetap mempromosikan video tersebut selama engagement-nya tinggi.
Platform sosial tidak lagi hanya alat komunikasi. Mereka adalah ruang publik. Tapi ruang publik yang terlalu sering abai ketika darah mengalir di depannya.
Mengapa Kita Membiarkan Ini Terjadi?
Kasus Valeria menunjukkan kita tidak hanya hidup di dunia yang penuh kekerasan, tapi juga di dunia yang menyiarkan kekerasan. Secara real-time. Secara pasif. Dan seringkali, tanpa konsekuensi.
Kamera seharusnya menjadi alat pelindung, saksi, bahkan bukti. Tapi ketika kamera hanya merekam tanpa mencegah, ia berubah menjadi cermin brutal zaman kita.
Ini bukan hanya soal satu perempuan tewas saat live TikTok.
Ini tentang bagaimana budaya digital kita telah kehilangan empati — dan menganggap kematian sebagai konten.
Apa yang Harus Kita Takuti?
Bukan hanya pelaku bersenjata.
Bukan hanya negara yang gagal mengusut.
Yang lebih menakutkan adalah ini:
Kita menonton Valeria Marquez mati — dan kita sudah terbiasa.