Seoul – Pemerintah Korea Selatan telah menyatakan akan mengambil langkah tegas setelah kecaman publik mengenai penyebaran gambar dan video deepfake seksual di Telegram. Dalam rapat kabinet yang disiarkan pada Selasa, Presiden Yoon Suk Yeol menyerukan pentingnya investigasi menyeluruh terhadap kejahatan seksual digital yang sedang marak.
Laporan dari media lokal yang mengungkapkan seringnya konten deepfake eksplisit ditemukan di Telegram muncul bersamaan dengan penangkapan Pavel Durov, pendiri Telegram yang berkewarganegaraan Rusia, oleh otoritas Prancis. Penangkapan ini terkait penyelidikan atas dugaan pornografi anak, perdagangan narkoba, dan penipuan yang terjadi melalui aplikasi pesan tersebut.
Komisi Standar Komunikasi Korea, yang bertanggung jawab mengatur media di negara ini, dijadwalkan akan mengadakan rapat pada Rabu untuk membahas langkah-langkah pencegahan penyebaran deepfake seksual.
“Ini adalah penyalahgunaan teknologi yang dilindungi oleh anonimitas. Ini jelas tindakan kriminal,” kata Yoon dalam pernyataannya, meskipun tidak menyebutkan nama Telegram secara spesifik. Pernyataan ini menunjukkan kebutuhan akan hukum yang lebih ketat dalam menindak kejahatan seks digital.
Telegram sendiri belum menanggapi permintaan komentar dari Reuters hingga saat ini.
Lonjakan kasus deepfake seksual yang dilaporkan oleh polisi Korea Selatan menimbulkan kekhawatiran serius, dengan 297 kasus tercatat dalam tujuh bulan pertama tahun ini. Angka ini meningkat tajam dibandingkan dengan 180 kasus tahun lalu, dan hampir dua kali lipat dari jumlah pada tahun 2021 saat data pertama kali dikumpulkan. Sebagian besar pelaku adalah remaja dan orang-orang berusia 20-an, menurut polisi.
Salah satu laporan yang paling menyita perhatian adalah analisis dari surat kabar Hankyoreh, yang mengungkapkan adanya saluran-saluran Telegram yang dengan bebas membagikan deepfake pelajar perempuan dari berbagai universitas dan sekolah menengah atas. Serikat Guru dan Pekerja Pendidikan Korea juga melaporkan bahwa beberapa siswa sekolah telah menjadi korban deepfake seksual, dan menyerukan kementerian pendidikan untuk menyelidiki masalah ini.
Lebih lanjut, ditemukan juga deepfake seksual yang menargetkan personel militer perempuan di chatroom Telegram, sebagaimana dilaporkan oleh Pusat Dukungan Korban Pelecehan Seksual Militer, yang mendukung para korban pelecehan di lingkungan militer.
Reputasi Telegram di Korea Selatan telah lama tercoreng setelah terungkapnya jaringan pemerasan seksual online yang beroperasi di chatroom aplikasi tersebut. Pada tahun 2020, Cho Ju-bin, pemimpin jaringan ini, dijatuhi hukuman 40 tahun penjara karena memeras 74 wanita, termasuk 16 remaja, untuk mengirimkan gambar seksual yang semakin merendahkan dan kadang-kadang berbau kekerasan.
Menurut Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual dan Perlindungan Korban, pembuatan dan distribusi deepfake seksual di Korea Selatan dapat dihukum dengan penjara lima tahun atau denda hingga 50 juta won (sekitar $37,500).
Pemerintah Korea Selatan dihadapkan pada tantangan berat untuk memastikan bahwa korban mendapat perlindungan yang memadai, serta memperketat pengawasan terhadap platform digital yang digunakan untuk tindakan kejahatan.