banner 728x250

Dugaan Kasus Korupsi Pertamina: Modus “Blending” Pertalite ke Pertamax Terungkap

banner 120x600
banner 468x60

Latar Belakang Kasus

Pada tanggal 25 Februari 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengumumkan adanya dugaan kasus korupsi besar yang melibatkan PT Pertamina dalam pengelolaan minyak mentah dan produk kilang. Kasus ini mencuat setelah penyidikan yang intensif dilakukan oleh tim penyidik, yang mengakibatkan penetapan tujuh tersangka, termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan. Kerugian yang ditaksir akibat praktik korupsi ini mencapai Rp 193,7 triliun, angka yang mencengangkan dan menunjukkan betapa seriusnya masalah ini.

Dugaan praktik korupsi ini berfokus pada modus “blending,” yang dilakukan dengan cara mencampurkan bahan bakar Pertalite dengan Pertamax. Penjualan bahan bakar yang dicampur ini dilakukan dengan harga yang lebih tinggi, menimbulkan kerugian bagi negara dan menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat. Praktik ini jelas melanggar hukum dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas manajemen di Pertamina.

banner 325x300

Kejagung menjelaskan bahwa penyelidikan ini dilakukan setelah pengumpulan bukti dan pemeriksaan saksi yang mendukung dugaan tersebut. Penetapan tersangka ini menjadi langkah awal dalam menuntaskan praktik korupsi yang merugikan keuangan negara.

Rincian Tersangka dan Peran Mereka

Kejagung menetapkan tujuh individu yang terlibat dalam praktik korupsi ini. Mereka adalah:

  1. Riva Siahaan (RS) – Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, yang diduga terlibat dalam pengaturan rapat untuk menurunkan produksi kilang dan memenangkan broker minyak secara ilegal.
  2. SDS – Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, yang juga terlibat dalam pengaturan rapat dan memenangkan broker.
  3. AP – VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, yang bersama RS dan SDS terlibat dalam pengaturan yang sama.
  4. YF – Pejabat di PT Pertamina International Shipping, yang diduga melakukan mark up kontrak pengiriman saat impor minyak.
  5. MKAN – Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, yang terlibat dalam praktik penggelembungan harga.
  6. DW – Komisaris PT Navigator Khatulistiwa, yang terlibat dalam komunikasi untuk mengamankan keuntungan dalam transaksi minyak.
  7. GRJ – Komisaris PT Jenggala Maritim, yang juga terlibat dalam komunikasi untuk mendapatkan harga tinggi sebelum syarat transaksi terpenuhi.

Setiap tersangka memiliki peran signifikan dalam skema korupsi ini, dan Kejagung berkomitmen untuk mengungkap semua aspek dari kasus ini. Penanganan kasus ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan keadilan bagi masyarakat yang terdampak.

Modus Operandi yang Ditemukan

Modus yang sangat mencolok dalam kasus ini adalah praktik “blending.” Dalam praktik ini, Pertalite yang seharusnya dijual dengan harga lebih rendah dicampurkan dan dijual seolah-olah sebagai Pertamax. Tindakan ini menciptakan ketidakadilan di pasar, di mana konsumen harus membayar lebih untuk bahan bakar yang sebenarnya tidak sesuai dengan spesifikasi.

Kejagung menyatakan bahwa produk yang dibeli adalah Pertalite (RON 90), tetapi setelah dicampur di depo, kadar RON-nya diubah sehingga tampak seperti Pertamax (RON 92). Praktik ini menunjukkan manipulasi serius dalam pengelolaan bahan bakar yang seharusnya dilakukan secara transparan dan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan.

Praktik korupsi ini bukan hanya merugikan negara, tetapi juga masyarakat yang terpaksa membayar lebih untuk bahan bakar berkualitas rendah. Hal ini menimbulkan keresahan di kalangan konsumen dan mengurangi kepercayaan terhadap BUMN seperti Pertamina.

Kronologi Kasus Korupsi

Kasus ini mulai terungkap setelah Kejagung melakukan penyelidikan berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018, yang mewajibkan PT Pertamina untuk mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri. Namun, dalam penyidikan ditemukan bahwa terdapat manipulasi yang menyebabkan kerugian negara.

Tim penyidik menemukan bahwa produksi minyak mentah dalam negeri yang dihasilkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sengaja ditolak dengan alasan tidak memenuhi spesifikasi. Akibatnya, kebutuhan minyak mentah dalam negeri dipenuhi melalui impor, yang jauh lebih mahal dan menambah beban keuangan negara.

Abdul Qohar menjelaskan bahwa terdapat selisih harga yang signifikan antara minyak mentah impor dan yang diproduksi dalam negeri. Hal ini menunjukkan bahwa ada praktik yang tidak etis dalam pengadaan yang dapat merugikan negara.

Kerugian yang Dialami Negara

Kejagung memperkirakan kerugian negara akibat praktik korupsi ini mencapai Rp 193,7 triliun. Angka ini mencakup berbagai komponen kerugian, mulai dari kerugian ekspor minyak mentah, kerugian akibat pengadaan minyak impor, hingga kerugian dari pemberian kompensasi dan subsidi.

Penyidikan ini terus berlanjut, dan nilai kerugian yang lebih pasti masih dalam proses penghitungan oleh tim ahli. Kejagung berkomitmen untuk menelusuri aliran dana yang terlibat dalam dugaan korupsi di sektor energi ini dan memastikan semua pelaku bertanggung jawab atas tindakan mereka.

Masyarakat berharap agar praktik korupsi yang merugikan negara dan rakyat seperti ini dapat diusut tuntas, dan pelaku diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Kasus ini diharapkan menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih berhati-hati dalam pengelolaan sumber daya alam.

Reaksi dari Berbagai Pihak

Kasus ini tidak hanya menarik perhatian media, tetapi juga menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Banyak yang menganggap bahwa tindakan ini mencoreng nama baik Pertamina sebagai BUMN yang seharusnya berkomitmen terhadap pelayanan publik.

Pimpinan MPR dan berbagai tokoh masyarakat juga menyatakan keprihatinan terhadap kasus ini. Mereka meminta agar semua pihak bekerja sama dalam mengungkap fakta-fakta dan memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku. Masyarakat berharap agar kasus ini menjadi momentum untuk melakukan reformasi di sektor energi.

Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam mencegah terulangnya praktik korupsi di masa depan. Kejagung diharapkan dapat melakukan penyelesaian yang adil dan cepat.

Harapan untuk Masa Depan Energi Indonesia

Kasus dugaan korupsi di PT Pertamina ini menjadi pengingat penting akan perlunya integritas dalam pengelolaan sumber daya alam. Kejagung diharapkan dapat menyelesaikan penyidikan ini dengan tuntas dan memastikan semua pelaku diadili.

Kejaksaan Agung dan pihak berwenang lainnya perlu berkomitmen untuk melakukan reformasi di sektor energi agar praktik korupsi tidak terulang. Masyarakat juga diharapkan untuk semakin peduli dan aktif dalam mengawasi penggunaan anggaran negara, terutama di sektor-sektor penting seperti energi.

Dengan pengungkapan kasus ini, diharapkan Indonesia dapat mengambil langkah-langkah yang lebih baik dalam mengelola sumber daya alam dan memastikan bahwa keuntungan dari sumber daya tersebut benar-benar kembali kepada rakyat.

banner 325x300