Ditulis oleh: PixelScribe | Politik Teknokratis dan Ego Para Titan
Ketika dua ego terbesar Amerika bentrok, dunia tak hanya menonton—ia terguncang. Donald Trump dan Elon Musk, dua ikon era digital dan populisme modern, kini berada di titik terendah hubungan mereka. Dulu akrab seperti dua bro yang saling endorse. Sekarang? Bahkan kata “musuh” terasa terlalu sederhana.
Namun setelah perang terbuka yang menghantam media sosial, saham, dan stabilitas politik, Elon Musk secara mengejutkan angkat bendera putih: sebuah permintaan maaf publik yang membuat banyak orang mengernyit—sungguh menyesal, atau strategi PR brilian?
📼 Rekap Musim Sebelumnya: Dari DOGE ke Drama
Mari rewind sebentar.
Ketika Trump kembali mencalonkan diri sebagai presiden, Elon Musk tampil sebagai “pemain cadangan utama”. Dukungan penuh ia berikan—bahkan sampai membuat situs TrumpWin2024.org, semacam kuis kampanye dengan gimmick hadiah.
Sebagai balasan, Trump mengangkat Musk sebagai Kepala DOGE (Department of Government Efficiency). Jabatan yang kedengarannya seperti parodi, tapi nyatanya serius. Musk pun masuk lingkaran dalam pemerintahan.
Sayangnya, bromance itu hanya bertahan sebentar. Ketika RUU “One Big Beautiful Bill (BBB)” diumumkan—Musk langsung angkat suara. Menyebutnya “Slim Ugly Bill”, menganggapnya pemborosan. Kritik itu jadi peluru pertama dalam perang yang tak terelakkan.
💣 Medsos Jadi Medan Tempur
Pertempuran ini bukan di ruang senat, tapi di dunia digital. Musk mencuit, Trump membalas. Musk menyindir defisit, Trump menyerang balik lewat Truth Social, menyebut Musk “hilang akal” dan mengancam pencabutan subsidi.
Klimaks datang saat Musk menyeret nama Trump ke skandal Jeffrey Epstein. Walau tak eksplisit, insinuasi itu cukup untuk membakar satu negara bagian penuh. Wall Street ikut panik: saham Tesla rontok. Trump murka. Pejabat Gedung Putih kebakaran jenggot.
Musk bahkan mengancam tarik mundur SpaceX dari misi ke ISS—yang segera ia cabut karena tekanan NASA dan publik.
🕊️ Twit Damai: Jujur atau Jebakan?
11 Juni 2025. Musk ngetwit:
“Saya menyesal atas beberapa unggahan saya tentang Presiden @realDonaldTrump minggu lalu. Unggahan itu terlalu berlebihan.”
Tak jelas cuitan mana yang dimaksud. Tak ada penjelasan. Tapi efeknya seperti bom asap—viral, kontroversial, dan memecah kubu.
Sebagian orang melihat ini sebagai langkah dewasa. Sebagian lain menyebutnya “manuver klasik Musk” untuk menyelamatkan bisnis dan reputasi. Apalagi setelah banyak cuitan kontroversialnya—termasuk ajakan memakzulkan Trump—mendadak hilang.
🚫 Trump: “Terlambat. Permintaan Maaf Ditolak.”
Alih-alih mereda, Trump malah makin keras. Lewat NBC, ia menyatakan:
“Hubungan kami sudah selesai.”
Tidak ada drama tangis. Tidak ada pelukan perpisahan. Hanya pintu yang ditutup keras dan dikunci dari dalam.
Trump bahkan menolak bicara lagi tentang Musk ke media. Ini bukan lagi soal RUU atau jabatan, tapi soal pengkhianatan di level ego.
🧩 Banyak yang Belum Selesai
Meski permintaan maaf telah dilayangkan, dunia tahu: keduanya belum benar-benar move on. Trump masih memegang kendali politik, Musk masih menguasai platform tempat semua drama ini berlangsung. Belum lagi rumor tentang Musk ingin bikin partai baru—semacam “partai kecewa” untuk orang yang muak dengan dua kutub lama politik Amerika.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang benar atau salah. Tapi:
Kapan drama ini bakal lanjut lagi?
Karena jika dua figur sekuat ini masih berbagi panggung dan mikrofon, maka kedamaian hanya soal waktu—sampai trending topic berikutnya.
✍️ Epilog: Dari Politik ke Panggung Teater
Trump dan Musk bukan hanya politisi dan pengusaha. Mereka adalah aktor utama dalam serial politik modern. Di mana media sosial adalah naskah, dan kita semua penontonnya.
Permintaan maaf mungkin meredam emosi. Tapi apakah itu akhir? Rasanya tidak. Karena seperti dalam setiap musim baru serial favorit…
Cliffhanger selalu ada di menit terakhir.