banner 728x250

Disuruh AI, Dia Minta Cerai. Selamat Datang di Era Di Mana ChatGPT Lebih Dipercaya dari Suami Sendiri

Illustrasi Wanita Minta Cerai Karena ChatGPT
banner 120x600
banner 468x60

“Aku yakin dia selingkuh. Tapi aku butuh konfirmasi…”
Lalu dia buka ChatGPT.
Dan chatbot itu bilang: “Ada seseorang berinisial E.”

Tanpa bukti. Tanpa konfirmasi.
Langsung gugat cerai.

banner 325x300

Ini bukan fiksi. Ini bukan plot sinetron.
Ini dunia nyata, dan AI adalah tokoh antagonisnya.


Ketika AI Jadi Cenayang Digital

Di Yunani, seorang wanita curiga suaminya selingkuh. Tapi alih-alih cari bukti, dia malah iseng nanya ke ChatGPT… dan mengaku mengirim foto ampas kopi.

Masalahnya?
ChatGPT tidak bisa lihat gambar (terutama kalau dikirim lewat Reddit).
Dan walau bisa, AI bukan peramal nasib, apalagi detektif asmara.

Tapi jawabannya tetap keluar. Dengan nada percaya diri.
Dan di kepala si wanita? Itu lebih dari cukup.


Halusinasi AI + Overthinking Manusia = Bom Waktu

AI kayak ChatGPT itu kayak temen sok tahu yang jawab semua hal pakai nada sok yakin.
Bukan karena dia tahu. Tapi karena dilatih buat terus ngomong, bukan buat jujur.

  • GPT bisa salah jawab 79% fakta dasar.
  • Tapi bahasanya manis, tenang, dan penuh keyakinan.

Itu cukup buat orang yang sedang goyah percaya sepenuh hati.
Kalau manusia bisa cinta karena rayuan, kenapa gak bisa benci karena chatbot?


Era Baru: Gaslighting Digital

Apa yang terjadi kalau AI dijadikan “kompas moral”?
Kita mulai nyari kebenaran dari entitas yang tidak punya empati, tidak kenal konteks, dan tidak bertanggung jawab.

Hari ini:

“ChatGPT bilang dia selingkuh.”

Besok:

“GPT menyarankan saya resign.”
“GPT bilang anak saya punya masalah psikologis.”
“GPT bilang jangan vaksin, katanya nggak aman.”

Kalau GPT salah?

“Ya saya cuma nanya doang sih…”
Tapi keputusan sudah dibuat. Dan dampaknya permanen.


Kita Makin Percaya Output daripada Otak Kita Sendiri

Kenapa wanita itu percaya? Karena output dari AI terasa seperti kebenaran absolut.
Padahal itu cuma probabilitas kata, dilapisi gaya bahasa kalem, lalu dibungkus UX cantik.

Itu bukan pengetahuan. Itu illusion of intelligence.
Dan manusia gampang jatuh cinta sama ilusi yang menenangkan.


Siapa yang Salah? AI-nya? Manusia-nya? Atau Kita Semua?

Mau salahkan AI? Nggak bisa.
GPT cuma jawab karena diminta.

Mau salahkan manusianya? Mungkin… tapi jangan lupa:
Kita semua sedang dibombardir dengan narasi bahwa AI lebih pintar dari kita.

  • Google pakai AI.
  • LinkedIn, TikTok, Instagram, semua pakai AI.
  • Bahkan psikolog virtual mulai ditawarin pakai AI.

Jadi jangan heran kalau banyak orang yang mikir:

“Kalau AI bilang, ya pasti bener dong…”


Akhir Kata: Kalau Cinta Bisa Diputusin Sama Bot, Berarti Kita Udah Kehilangan Kompas Hidup

Kisah ini bukan cuma soal perceraian.
Ini soal bagaimana manusia menyerahkan agency hidupnya ke makhluk digital yang bahkan nggak ngerti artinya “cinta” atau “pengkhianatan”.

Hari ini kamu tanya AI soal nasib.
Besok kamu serahkan masa depanmu padanya.
Lusa… kamu cuma jadi NPC dalam hidup yang digenerate sama algoritma.

Selamat datang di era hallucinated decisions.
Kalau kamu gak kontrol hidupmu sendiri, AI pasti dengan senang hati menggantikanmu.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan