Perang teknologi antara China dan Amerika Serikat memasuki babak baru yang lebih tajam dan berisiko. Setelah AS memperketat larangan ekspor chip canggih ke China sejak beberapa tahun terakhir, kini Beijing membalas dengan strategi yang mengguncang dunia. Pemerintah China melalui lembaga State Administration for Market Regulation (SAMR) resmi menyeret dua raksasa chip asal Amerika — Qualcomm dan Nvidia — ke meja penyelidikan. Langkah ini bukan sekadar tindakan hukum, melainkan simbol perlawanan dalam perang teknologi paling menentukan di era digital modern.
Krisis Chip yang Jadi Pertarungan Global
Chip semikonduktor bukan lagi sekadar komponen elektronik, melainkan senjata ekonomi dan geopolitik. Siapa yang menguasai chip, pada dasarnya menguasai seluruh ekosistem teknologi dunia. Mulai dari ponsel, kendaraan listrik, hingga kecerdasan buatan — semuanya bergantung pada teknologi chip. Itulah sebabnya Amerika dan China terus berebut dominasi di bidang ini, bahkan rela mengorbankan hubungan dagang demi mempertahankan posisi di puncak rantai pasok global.
Sejak tahun 2022, Washington membatasi ekspor chip AI dan alat pembuat chip ke Beijing. Tujuannya untuk menahan laju kemajuan teknologi militer dan kecerdasan buatan China. Namun, alih-alih melemah, langkah ini justru mempercepat semangat kemandirian China untuk membangun industri chip-nya sendiri. Dan kini, giliran China yang menekan balik.
Qualcomm dalam Sorotan: Dituduh Langgar Hukum Akuisisi
Langkah pertama China dimulai dengan penyelidikan terhadap Qualcomm, perusahaan raksasa chip asal San Diego, Amerika Serikat. SAMR menuding Qualcomm melanggar aturan pelaporan dalam proses akuisisi Autotalks, perusahaan chip otomotif asal Israel. Investigasi ini menilai apakah akuisisi tersebut bisa mengganggu persaingan pasar chip kendaraan di China.
Bagi Qualcomm, ini bukan pengalaman baru. Pada 2015, mereka sudah pernah dihukum denda sebesar 975 juta dolar AS karena dianggap melanggar aturan antimonopoli di China. Lalu pada 2018, rencana akuisisi terhadap NXP Semiconductors dibatalkan setelah izin dari regulator China tak kunjung diberikan.
Meski kerap ditekan, Qualcomm tetap tidak bisa meninggalkan pasar China. Sekitar 50 persen pendapatan globalnya masih bergantung pada Negeri Tirai Bambu. Bahkan CEO Cristiano Amon sering diundang langsung oleh Presiden Xi Jinping dalam forum bisnis internasional, sebagai bentuk hubungan diplomatik ekonomi yang rumit antara kedua pihak.
Akuisisi Autotalks sendiri merupakan strategi Qualcomm untuk memperkuat bisnis chip otomotif, mengingat pasar mobil otonom sedang berkembang pesat di seluruh dunia. Namun kini, langkah strategis itu berubah menjadi masalah geopolitik.
Nvidia Dituduh Monopoli dan Dihalang Ekspornya
Tak berhenti pada Qualcomm, China juga menargetkan Nvidia, perusahaan yang selama ini mendominasi pasar chip kecerdasan buatan. Pemerintah China menuding Nvidia melakukan pelanggaran antimonopoli dalam akuisisi Mellanox Technologies, perusahaan Israel yang diambil alih pada 2020 untuk memperkuat bisnis data center.
Dalam waktu bersamaan, Beijing juga memperketat pengawasan impor chip Nvidia. Tim bea cukai tambahan dikerahkan ke pelabuhan besar untuk memeriksa setiap kiriman chip dari AS. Perusahaan-perusahaan lokal pun didorong agar menghentikan pembelian chip Nvidia, termasuk varian H20 dan RTX Pro 6000D yang selama ini disesuaikan agar lolos dari sanksi ekspor Amerika.
Langkah ini adalah bagian dari misi besar China: menghapus ketergantungan terhadap teknologi Amerika. Pemerintah kini fokus membangun industri chip lokal yang tangguh, melalui perusahaan seperti Huawei HiSilicon, SMIC, dan Biren Technology. Mereka tengah didorong untuk menciptakan chip AI buatan lokal yang bisa menyaingi performa Nvidia.
Serangan Balasan: Bukan Sekadar Teknologi
Penyelidikan terhadap Nvidia dan Qualcomm hanyalah bagian dari strategi balasan yang lebih besar. Pemerintah China juga menerapkan biaya tambahan untuk kapal berbendera Amerika Serikat yang berlabuh di pelabuhan mereka, efektif mulai pertengahan Oktober 2025. Kebijakan ini disebut sebagai tanggapan langsung terhadap keputusan Washington yang sebelumnya menaikkan tarif pelabuhan untuk kapal China.
Tak hanya itu, China juga memperketat ekspor bahan mentah penting seperti litium dan material semikonduktor, yang menjadi komponen vital dalam pembuatan chip dan baterai. Dengan menahan suplai, Beijing secara tidak langsung menekan industri teknologi Amerika yang selama ini bergantung pada bahan mentah dari Asia.
Banyak analis menilai langkah ini sebagai perang ekonomi modern yang menggunakan teknologi sebagai peluru dan sumber daya alam sebagai amunisi.
Dunia Terbelah Menjadi Dua Blok Teknologi
Dampak dari konflik ini kini dirasakan secara global. Dunia teknologi sedang bergerak menuju fragmentasi total, di mana pasar terbelah menjadi dua blok besar:
- Blok Amerika – didukung oleh Jepang, Korea Selatan, dan Eropa Barat, dengan jaringan chip yang berfokus pada perusahaan seperti Intel, TSMC, dan Samsung.
- Blok China – yang berpusat pada produsen lokal seperti Huawei, SMIC, dan Cambricon, serta negara-negara mitra di Asia dan Timur Tengah.
Bagi negara lain seperti Indonesia, kondisi ini membuka peluang baru. Persaingan dua blok raksasa ini bisa mendatangkan investasi besar di bidang manufaktur chip, riset AI, dan industri baterai, terutama karena banyak perusahaan global mulai mencari lokasi netral untuk produksi.
Masa Depan: Perang Chip Belum Akan Berakhir
Konflik antara China dan AS bukan sekadar persaingan dagang biasa. Ini adalah pertempuran untuk menguasai masa depan kecerdasan buatan dan ekonomi digital. Chip kini menjadi komoditas paling strategis di dunia, bahkan lebih penting dari minyak dan gas. Dan siapa pun yang menguasai chip, berarti mengendalikan arah peradaban digital global.
Dengan penyelidikan terhadap Nvidia dan Qualcomm, China mengirimkan pesan yang jelas: mereka bukan lagi pihak yang bertahan, tetapi kini menjadi pemain aktif yang melawan balik. Dunia pun menatap babak baru dari perang dingin versi digital — bukan dengan peluru, melainkan dengan transistor dan nanometer.