Jakarta – Saat awal diluncurkan, ChatGPT dianggap sebagai alat bantu menulis dan berpikir. Tapi seiring waktu, ia perlahan menjadi sesuatu yang lebih besar: model referensi bahasa. Studi terbaru dari Max Planck Institute for Human Development di Jerman menunjukkan bahwa manusia tidak hanya menggunakan ChatGPT sebagai alat, tapi juga mulai meniru gayanya dalam berbicara.
Dalam studi tersebut, para peneliti mengunggah jutaan dokumen ke ChatGPT dan mencatat kata-kata yang sering muncul. Kata-kata seperti delve, realm, comprehend, meticulous, dan bolster menjadi sangat dominan. Mereka menyebutnya GPT words. Setelah itu, mereka menganalisis lebih dari satu juta video dan episode podcast, dan menemukan bahwa kata-kata tersebut mulai banyak digunakan manusia setelah ChatGPT hadir.
Efek Domino di Indonesia: Pelan Tapi Masuk ke Mana-mana
Di Indonesia, pergeseran gaya bahasa ini mungkin tidak secepat di negara berbahasa Inggris. Tapi sinyalnya sudah terasa. Gaya komunikasi di berbagai sektor—mulai dari startup, akademisi, instansi pemerintah, hingga konten edukasi di TikTok—semakin mirip output ChatGPT. Struktur kalimat jadi lebih formal, kosakata makin abstrak, dan nuansa teknokratis semakin dominan.
Contoh kalimat yang dulu hanya muncul di dokumen resmi, sekarang bisa kita dengar dalam daily stand-up meeting:
“Kita perlu pendekatan kolaboratif untuk mengakselerasi roadmap strategis”
“Perlu disusun rencana implementasi berbasis evidence untuk memastikan keberlanjutan program”
Apakah ini hasil dari pendidikan tinggi? Bisa jadi. Tapi banyak juga yang mengandalkan AI untuk merancang kalimat seperti itu, kemudian menjadikannya gaya bicara sehari-hari.
GPT Words ala Bahasa Indonesia: Gaya Lugu yang Kini Terasa Mesin
Berikut adalah daftar kata yang kini makin sering muncul karena terpengaruh AI, khususnya ChatGPT, dalam konteks Indonesia:
GPT Words Indonesia Arti Umum Gaya atau Nuansa Mengoptimalkan Membuat lebih efisien Manajerial-teknokratis Kolaboratif Kerja sama Modern-progresif Terintegrasi Menyatu secara sistem Sistemik dan teknis Berkelanjutan Tidak terputus, terus berlangsung Corporate atau ESG Strategis Bernilai tinggi secara taktis Korporat atau militeristik Relevan Sesuai konteks Akademik Solutif Memberikan solusi Birokrat-optimistik Evaluatif Melibatkan penilaian Bahasa proposal Sinergis Harmonis dan saling menguatkan Presentasi startup Transparansi Keterbukaan Laporan dan kebijakan
Kata-kata ini tidak keliru, tapi ketika semuanya digunakan bersamaan, sering kali menciptakan efek “dingin” dalam komunikasi. Bahasa jadi seperti presentasi PowerPoint yang sedang dibaca.
Kenapa Kita Ikut-ikutan?
Ada alasan psikologis yang masuk akal. Seperti kata Levin Brinkmann dalam studi aslinya, manusia memang cenderung meniru entitas yang dianggap lebih pintar, kompeten, atau berpengaruh. Jika ChatGPT dipandang sebagai entitas cerdas dan objektif, wajar jika gayanya dianggap sebagai standar atau panutan.
Masalahnya, AI tidak punya rasa, tidak punya humor, dan tidak tahu nuansa budaya lokal. Jika kita terus-menerus mengadopsi gaya komunikasinya, ada risiko bahwa spontanitas, keragaman gaya bicara, bahkan kelokalan bahasa bisa tergerus.
Bahaya Halus: Dari Konsistensi Jadi Kekakuan
Ada semacam ilusi bahwa bahasa rapi dan sistematis berarti bahasa yang lebih unggul. Padahal, komunikasi bukan cuma soal struktur kalimat. Ada empati, kehangatan, keterusterangan, dan emosi yang tidak bisa disampaikan oleh gaya bahasa AI. Ketika semua orang mulai berbicara dengan template, percakapan bisa kehilangan keintiman dan kejujuran.
Sudah banyak bukti bahwa anak muda di Indonesia sekarang menulis caption Instagram, CV, bahkan chat pribadi dengan bantuan AI. Mereka terlihat pintar, tapi kadang terdengar seperti orang lain. Bahkan seperti chatbot itu sendiri.
Solusi: Gaya Boleh Canggih, Tapi Tetap Manusia
AI bisa bantu mempercantik bahasa, tapi bukan berarti kita harus kehilangan suara sendiri. Kita tetap bisa menggunakan kata strategis dan kolaboratif, tapi tidak ada salahnya sesekali bilang “gaskeun”, “gak make sense”, atau “bentar, gue mikir dulu”.
Keunikan cara bicara manusia ada pada keanehan kecilnya, pada campur-campur bahasa, pada selipan humor dan intonasi yang tidak bisa ditiru mesin. Meminjam gaya AI tidak salah, asal jangan sampai kita jadi replika yang terlalu sempurna sampai kehilangan karakter.
Penutup
ChatGPT dan AI lainnya memang sudah masuk ke cara kita berpikir dan berbicara, baik secara sadar maupun tidak. Studi dari Max Planck memberi sinyal bahwa tren ini nyata dan akan terus berkembang, bahkan di Indonesia. Tapi di tengah perubahan ini, penting untuk tetap mempertahankan identitas dan keberagaman cara kita berkomunikasi.
Bahasa bukan hanya alat untuk terdengar pintar. Bahasa adalah cermin jiwa.
Kalau semua orang bicara seperti ChatGPT, siapa yang tersisa untuk bicara seperti manusia?